Assalamualaikum,wr,wb
apa kabar agan2 semua?...
Oke
ini adalah catatan perjalanan saya sebagai seorang traveller yang selalu pergi
sendirian dan pacar saya yaitu motor Honda Supra X 125 yang selalu menemani
saya kemanapun saya pergi :D (just kidding hehehe…).
Berawal
dari keisengan saya yang mencari tempat-tempat yang membuat rileks badan dan
jiwa, jauh dari hiruk pikuk kota Bandung dan utamanya untuk ngehilangin jenuh
dan galau projek skripsi yang error melulu (hahaha :D), dan di salah satu
website saya menemukan artikel tentang bukit moko dan mulailah dari situ saya
mencari informasi tentang bukit moko ini.
Setelah
menelusuri blog dan web yang berkaitan tentang si bukit moko ini, maka
didapatlah bahwa Bukit Moko ini merupakan sebuah tempat dimana kita bisa melihat
pemandangan seluruh Kota Bandung dari ketinggian. Tempat ini berada pada
ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut, dan menjadi titik tertinggi di
Bandung. Dan saya putuskan untuk berangkat ke sana pada hari minggu.
Sebelum lanjut
cerita, ada 3 jalur menuju bukit moko ini :
Ø Lewat
Bojong Koneng. Jaraknya paling dekat namun medannya menantang
Ø Lewat
Cimuncang. Jalur ini tidak direkomendasikan karena kondisi jalan berbatu dan
berkelok-kelok tajam.
Ø
Lewat Padasuka , jalur dengan dengan kondisi
jalan paling bersahabat. Tapi, kamu tetap harus hati-hati karena banyak
tikungan tajam dan tanjakan terjal.
Saya lebih memilih jalur Padasuka, karena
faktor jalan bersahabat, namun perlu agan ketahui meski jalur bersahabat,
kendaraan mobil atau motor harus dalam keadaan fit untuk jalan karena medan
jalur yang penuh tanjakan terjal. Saya merekomendasikan naik motor karena jalur
setelah melewati Padasuka sampai Bukit Moko jalan hanya bisa dilalui searah dan
mobil harus bergantian lewat jika berpapasan.
Oke, kita lanjut ceritanya…
Hari minggu, saya pun berangkat ke Bukit
Moko. Awal rencana pengen berangkat jam 6.00 pagi tetapi karena faktor
mengantuk akibat susah tidur semalam jam berangkat pun molor jadi jam 8.00 (maklum
mahasiswa gitu loh hehe).
Untuk ke Bukit Moko, kalo misal agan datang
dari Pasteur, ikutin aja sampe ke gasibu, dari gasibu terus saja sampai nanti sebelum
ke lampu merah dan terminal Cicaheum, belok kiri. Kalo bingung lihat aja
petunjuk jalan yang belok kirinya ada tulisan Padasuka dan Saung Angklung Mang
Udjo (udah tahu tempatnya kan). Oke disini perjalanan kita mulai…
Setelah melewati Saung Angklung Mang Udjo
kita ikutin aja jalannya. Di sini, jalan masih bisa dilewati kendaraan 2 arah
dan masih banyak perumahan warga. Tetapi setelah melewati perbatasan Kabupaten
Bandung, jalan akan semakin menyempit dan penuh tanjakan terjal, namun masih
bisa dilalui oleh mobil.
Makin ke atas, maka banyak pula tanjakan
terjal plus tikungan tajam tanpa pagar pembatas yang akan kita lalui, ingat
kendaraan agan harus dalam kondisi fit dan tentunya bensin harus full, gak lucu
kan kalo lagi nanjak tiba2 kendaraan habis bensin?... Saya sendiri pun
menggeber motor saat melewati tanjakan hanya gigi 1 terus menerus dan kecepatan
maksimal hanya 20 km/jam. Saya agak was-was takut si motor habis bensin di
tengah perjalanan karena saat di jalan indikator bensin menunjukkan tinggal
setengah lagi ataupun resiko besar adalah mogok. Setelah melewati beberapa
tanjakan, saya pun berhenti di pinggir rumah makan untuk beristirahat sejenak
dan tentunya mengambil beberapa foto pemandangan kota Bandung dari atas sini.
Sekitar 15 menit saya beristirahat, saya pun
melanjutkan perjalanan dan ternyata saat motor dinyalakan, indikator bensin
menunjukkan bensin masih penuh, aduh dikerjain ama si motor hahaha :D. Dengan
membaca doa saya pun melewati tanjakan dari tempat saya istirahat tadi dan
sesudah melewati tanjakan tersebut, di sebelah kiri terdapat banyak warung yang
berjejer menyediakan makanan seperti jagung, dsb. Ternyata saya sudah berada di
Caringin Tilu. Bagi yang tidak sempat atau kendaraan agan kurang fit, lebih
baik berhenti di sini saja karena pemandangan kota Bandung masih terlihat karena
sisa jalur ke Bukit Moko lumayan berat. Awalnya saya berpikir apa berhenti di
sini saja atau lanjut?. Ya, yang namanya rasa penasaran belum terpuaskan
membuat saya nekat untuk terus lanjut sampai puncak. Sambil jalan pun saya
sesekali berhenti untuk lagi-lagi mengabadikan foto.
Makin ke atas jalanan pun semakin menyempit, mulai dari Cicayur awalnya jalur yang dapat dilalui dua arah, kini hanya bisa dilalui satu arah
oleh mobil dan jika berpapasan harus bergantian. Untungnya karena jalan sepi,
saya dapat lancar melalui jalan ini. Oke setelah melalui beberapa jalur
tanjakan dan sempit, saya melalui kampung terakhir yaitu Cikidang. Di sini saya menanyakan
arah mana ke Bukit Moko, dan ternyata sebentar lagi dan lihat kalo ada tugu
bertuliskan Warung Daweung.
Akhirnya, saya menemukan jalur menuju Warung
Daweung, di sini kita ambil kiri yaitu jalanan yang berbatu menanjak, kalo agan
memilih kanan, jalur tersebut justru mengarah ke daerah Jatihandap. Nah di
sinilah jalur yang menantang sesungguhnya, jalanan yang berbatu curam ini harus
dilalui secara hati-hati atau tidak kita bisa jatuh, di sini saya nekat bawa
motor sampe ke atas dan saat ditanjakan, motor saya mati mendadak dan saya
memutuskan untuk mendorongnya sampe ke atas. Kalo pun agan tidak sanggup lewat
jalur ini, saya menyarankan untuk memarkir kendaraan di bawah lalu dilanjutkan
dengan jalan kaki ke atas.
Alhamdulillah, setelah perjuangan melewati
jalur yang menantang, sampailah saya di Warung Daweung, sebuah warung makan
yang mempunyai titik terenak untuk melihat keseluruhan kota Bandung dari atas
Bukit Moko. Ternyata si motor pun kuat digeber sampe ke sini. Meski harus
ngos-ngosan ngedorong si motor ke atas, kelelahan saya terbayar oleh
pemandangan kota Bandung dari atas sini. Kiri kanan berhadapan langsung dengan
lembah dan bagian depan berhadapan langsung dengan pemandangan kota Bandung. Dalam
bahasa sunda, daweung berarti melamun, dan tentu saja saya melamun melihat
pemandangan dari sini sambil menyeruput kopi Cappucinno yang saya pesan. Warung
Daweung menyediakan makanan hangat yang umum kita temui saat kita pergi ke
Lembang macam kopi, dan sebagainya.
Namun, ada yang minus dari Warung Daweung ini
adalah sampah yang berserakan. Jujur saja meski di sini sudah dipasang
peringatan untuk tidak membuang sampah sembarangan dan tidak membawa makanan
dari luar, masih saja ada orang-orang yang “ngeyel” tetap membuang sampah
sembarangan. Saya bisa lihat sampah plastik beterbangan saat ada angin berhembus.
Pihak Warung Daweung sendiri mengaku kewalahan menegur orang-orang yang “ngeyel”
ini. Di sini saya cuma bisa mengatakan “Aduhhh…” (sambil nepok kepala).
Lanjut cerita, saya pun tak lupa mengabadikan
pemandangan indah ini dengan berfoto. Karena saya ke sini sendirian, maka saya hanya
bisa mengabadikan foto-foto pemandangan dari atas Warung Daweung ini. Hati saya
sedikit sakit karena ternyata pengunjung di sini membawa pasangannya
masing-masing sedangkan saya sendiri hahaha… :D, saya cuman bisa berkata “aku
rapopo”…(nasib nasib sebagai jomblo hahaha).
Jam 11.30, saya pun memutuskan untuk pulang
karena melihat awan sudah mendung, nah di sini adrenalin saya tertantang kembali karena
menuruni jalanan curam berbatu tadi. Alhamdulillah dari Warung Daweung sampe ke
rumah perjalanannya lancar J
Oke, sekian catatan perjalan pertama saya
ini, mohon maaf kalo di caper ini masih ada kata2 yang kurang berkenan di hati
agan2 semua. Intinya kalo mau ke sini ada beberapa hal yang harus diperhatikan
:
Ø Kendaraan harus fit dan kuat nanjak kalo mau
ke Bukit Moko.
Ø Disarankan bawa motor aja atau mobil yang
tinggi (macam Pajero, Terrano, Terios, dll). Kalo agan bawa Alphard ke sini
Insya Allah..(tebak sendiri :D).
Ø Gak usah buru2 saat perjalanan, tenang pelan
tapi pasti kita akan sampe tujuan.
Ø Nah ini yang paling perlu diperhatikan : Jangan
buang sampah sembarangan apalagi bawa minuman keras kalo di Warung Daweung. Jaga
kebersihan, emang mau lihat tempat wisata tapi penuh sampah berserakan?, gak
kan…
Sekian dan terima kasih kita bertemu pada
catatan perjalanan selanjutnya, dadah…